Penasaran Tokoh di Google Doodle,  Ternyata  Tokoh Nakes Nasional Sia[pa dia? Simak Yuk

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- , Prof. Dr. Sulianti Saroso dikenal aktif sebagai anggota berbagai organisasi kesehatan di Indonesia, seperti Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan Indonesian Society of Infectious Diseases (ISID). Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan anggota Dewan Kehormatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).

Tak hanya itu, beliau juga terus berdedikasi untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada para dokter dan tenaga medis di Indonesia, terutama dalam hal penanganan penyakit infeksi. Beliau seringkali memberikan kuliah dan seminar di berbagai universitas dan rumah sakit di Indonesia.

Aksi Heroik

Dikutip dari intisari-online.com, Sulianti Saraso adalah salah satu tokoh kesehatan perempuan Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam dua bidang. Yaitu pencegahan dan pengendalian penyakit menular serta program keluarga berencana.

Ia juga merupakan dokter perempuan yang berjuang di barisan depan pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

Berikut adalah kisah inspiratif dari Dr Sulianti Saraso yang layak kita kenang dan tiru.

Kisah Dr Sulianti Saroso

Dr Sulianti Saraso lahir di Karangasem, Bali pada 10 Mei 1917. Ia merupakan anak kedua dari keluarga Dokter M. Sulaiman. Ayahnya adalah seorang dokter, sekaligus menjadi motivasinya untuk masuk kedokteran di usia muda.

 

Dr Sulianti Saraso lulus dengan gelar kedokteran dari Sekolah Geneeskundige Hoge pada tahun 1942, sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia.

Setelah lulus, ia bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat Jakarta yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo.

Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Dr Sulianti Saraso turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Dr Sulianti Saraso terjun sebagai dokter perjuangan mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik.

Ia juga berperan aktif mencari pengakuan atas kemerdekaan Indonesia di dunia internasional sebagai salah satu delegasi Konferensi Perempuan se-Asia.

Saat pasukan NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta pada Desember 1948. Dr Sulianti Saraso termasuk ke dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan sehingga harus meringkuk 2 bulan di tahanan Belanda.

Dedikasi untuk Kesehatan Masyarakat

Setelah masa revolusi, Dr Sulianti Saraso bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.

Dr Sulianti Saraso kemudian memimpin upaya penggalangan dukungan publik untuk program kesehatan ibu dan anak, yang kemudian dikenal sebagai gerakan keluarga berencana (KB) .

Bagi Dr Sulianti Saraso, hubungan antara kemiskinan, malnutrisi, buruknya kesehatan ibu dan anak, dengan kelahiran yang tak terkontrol adalah fakta yang harus diketahui warga Indonesia.

Ia juga menjadi salah satu pendiri Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Dr Sulianti Saraso juga sangat berjasa terhadap dunia pencegahan dan pengendalian penyakit menular.

Ia mendapat gelar sarjana public health administration dari Universitas London. Tahun 1961-1965 menjadi research associate di School of Medicine, Tulane University, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat. Di sanalah ia melakukan penelitian soal penyakit lumpuh dan keracunan serangga di Kolombia.

Pada tahun 1962, Dr Sulianti Saraso mendapat gelar master public health and tropical medicine. 

 

Perjuangan di Masa Revolusi

Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah seorang dokter spesialis penyakit infeksi yang sangat terkenal di Indonesia. Ia lahir di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 14 November 1946. Beliau dikenal luas sebagai pakar dalam bidang penyakit infeksi, terutama terkait virus HIV/AIDS.

Karir Prof. Dr. Sulianti Saroso dimulai ketika beliau lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1973. Setelah itu, beliau melanjutkan studi spesialisasi di bidang Penyakit Dalam dan Infeksi di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda, dan meraih gelar doktor pada tahun 1984.

Setelah kembali ke Indonesia, Prof. Dr. Sulianti Saroso bekerja di berbagai rumah sakit, termasuk di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta. Selama bekerja di RSUP Persahabatan, beliau memimpin Unit Penyakit Infeksi dan menjabat sebagai Direktur Medis.

Namun, prestasi terbesar Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah ketika beliau dipercaya sebagai ketua tim medis untuk menangani kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987. Saat itu, beliau dianggap sebagai satu-satunya ahli penyakit infeksi yang mampu menangani kasus tersebut.

Berkat keahliannya dalam menangani HIV/AIDS, Prof. Dr. Sulianti Saroso diundang untuk memberikan presentasi dan menjadi pembicara dalam konferensi internasional di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jepang, dan Australia.

Selain itu, beliau juga banyak berkontribusi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penyakit infeksi. Beberapa hasil penelitiannya termasuk tentang epidemiologi, patogenesis, dan pengobatan HIV/AIDS.

Pada tahun 2003, Prof. Dr. Sulianti Saroso mendirikan Yayasan Spiritia, sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk membantu masyarakat Indonesia yang terkena HIV/AIDS. Yayasan Spiritia ini memiliki program-program untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS, serta memberikan dukungan dan layanan medis bagi penderita HIV/AIDS.

Prestasi dan kontribusi Prof. Dr. Sulianti Saroso dalam bidang kesehatan tidak hanya diakui di Indonesia, namun juga di berbagai negara di dunia. Beliau pernah menerima beberapa penghargaan, antara lain The Order of the Rising Sun dari Pemerintah Jepang pada tahun 2009 dan The Clinton Global Citizen Award pada tahun 2010.

Prof. Dr. Sulianti Saroso memang layak dijadikan inspirasi bagi kita semua. Beliau telah memberikan banyak kontribusi dalam bidang kesehatan, khususnya terkait dengan penanganan HIV/AIDS. Semoga beliau terus dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan di

User

Mengenang Sang Inspiratif

Dikutip dari kompas.com, untuk mengenang perempuan penuh prestasi dan dedikasi ini, Google Doodle menampilkannya di baner pali  atas,  Sosoknya dikenal banyak orang sebagai salah satu pakar kesehatan paling signifikan pada masanya karena mempromosikan kesehatan ibu hamil dan keluarga.

 Untuk mengenang jasa-jasanya, namanya disematkan pada Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) di kawasan Sunter, Jakarta Utara. 

Dikutip dari Indonesia.go.id, Sulianti Saroso lahir 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Ia adalah anak kedua dari keluarga dokter M Sulaiman. Lahir dari orangtua sebagai dokter, tempat Sulianti juga ikut berpindah-pindah mengikut tempat tugas ayahnya.

 Meskipun demikian, Sulianti selalu mendapat pendidikan terbaik. Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Di STOVIA ia lulus sebagai dokter pada tahun 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo. Kemudian di awal kemerdekaan, ia ikut bertahan di rumah sakit besar itu. Namun, ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta,

 Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta. Sulianti mengikuti garis politik keluarganya. Ayahnya, dokter Muhammad Sulaiman, yang berasal dari kalangan keluarga priyayi tinggi di Bagelen-Banyumas adalah pengurus dan pendiri Boedi Oetomo, dengan pandangan politik yang pro Indonesia Merdeka. 

Di Yogya, Sulianti, yang oleh teman-temannya sering dipanggil sebagai Julie, itu benar-benar terjun sebagai dokter perjuangan. Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik, dan terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi KOWANI. 

Pada 1947, Sulianti ikut delegasi KOWANI ke New Delhi, menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia. Dari situ, Sulianti dan teman-teman menggalang pengakuan resmi bagi kemerdekaan Indonesia. Saat pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta, pada Desember 1948, Sulianti termasuk ke dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan. Ia meringkuk di penjara dua bulan. 

Bekerja di Kementerian Kesehatan RI Pascarevolusi kemerdekaan, dokter Sulianti kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.

 Pulang ke tanah air pada 1952, ia telah mengantungi Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Ia pun ditempatkan di Yogya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI. Sulianti kemudian melakukan penggalangan dukungan publik untuk program kesehatan ibu dan anak, khususnya pengendalian angka kelahiran lewat pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana (KB).

 “Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat," tulis Terence H Hull, pengamat kebijakan kesehatan dari Australia National University (ANU), dalam People, Population, and Policy in Indonesia, 2005.

 Namun kampanye Sulianti saat itu menimbulkan resistensi. Gagasannya ditolak mentah-mentah. Dia juga mendapat teguran dari Kementerian Kesehatan. Tak lama kemudian ia dipindah ke Jakarta, promosi menjadi Direktur Kesehatan Ibu dan Anak di kantor Kementerian Kesehatan. 

Memperjuangkan KB

 Dokter Sulianti masih terus memperjuangkan ide program KB. Hanya saja melalui jalur swasta. Bersama sejumlah aktivis perempuan, ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang menginisiasi klinik-klinik swasta yang melayani KB di berbagai kota. Para pejabat kementerian tutup mata. Untuk membangun model sistem pelayanan ibu dan anak, ia juga mendirikan pos layanan di Lemah Abang, Bekasi. 

Tujuannya, pelayanan medik bagi ibu dan anak bukan tujuan akhir. Goal-nya kehidupan ibu dan anak yang sehat dan bahagia. Memasuki tahun 1960-an, Sulianti dihadapkan pada masalah. Suaminya, Saroso, yang sebelumnya pejabat tinggi di Kementerian Perekonomian tersisih secara politik.

 Sebagai tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia), Saroso mendapat imbas peristiwa PRRI. Tak mau lama terpuruk dalam situasi rumit, Sulianti mengambil beasiswa di Tulane Medical School, New Orleans, Louisiana. Dalam lima tahun, ia meraih gelar MPH dan PhD. Desertasinya tentang epidemiologi bakteri E-Coli.

 Menggalakkan Indonesia bebas cacar 

Selesai dengan PhD-nya, Sulianti sempat setahun menjadi asisten profesor di Tulane, dan punya opsi memperpanjangnya. Lamarannya untuk menjadi profesional di Kantor Pusat WHO di Genewa, Swiss, diterima. Namun, saat ia berada di Jakarta mempersiapkan kepindahannya, Menteri Kesehatan Profesor GA Siwabessy menahannya. 

Tak lama kemudian, dokter Sulianti diangkat menjadi Dirjen P4M dan Direktur LRKN atau kini menjadi Balitbang Kementerian Kesehatan. Ia pun diizinkan aktif di WHO. Sewaktu menjabat Dirjen P4M, Profesor Sulianti mendeklarasikan Indonesia bebas cacar.

 Posisi Dirjen P4M dijalaninya sampai 1975, saat ia mundur dan memilih fokus di Balitbang Kesehatan hingga pensiun 1978. WHO masih memanfaatkan kepakarannya dan menjadikannya pengawas pada Pusat Penelitian Diare di Dakka, Bangladesh 1979.

 Di dalam negeri, Ia juga masih diperlukan sebagai staf ahli menteri. Pada era 1970 hingga 1980-an, gagasan-gagasannya tentang pengendalian penyakit menular, KB, dan kesehatan ibu serta anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah. 

Meski memiliki kepedulian besar tentang KB, menurut Dita Saroso, ibunya tak sempat turut terlibat dalam eksekusinya. "Sepanjang yang saya ingat, Ibu tak pernah masuk BKKBN," ujar Dita.

 Di pengujung karirnya, Profesor Sulianti lebih banyak menekuni bidang yang sesuai dengan kompetensi akademiknya, yakni penyakit menular. Dia juga tetap saja tak tertarik menangani pasien orang per orang. Ia tidak membuka praktek pribadi. "Ibu itu lebih sebagai dokternya masyarakat," kata Dita.

Filosofinya sebagai dokter bukan sebatas mengobati pasien, melainkan membuat masyarakat (terutama kalangan menengah ke bawah) hidup sehat, sejahtera, dan bahagia. Untuk mengenang kelahirannya, hari ini Google Doodle Google Doodle memajang gambar Prof. Dr. Sulianti Saroso di home page Google.***